Aku Takut Ilmuku tak Barokah
Bismillah
Apa yang kita harapkan dari hari-hari ujian anak kita? Tentu akan sangat menyenangkan ketika kabar yang datang adalah hasil capaian bejajar anak kita mencapai pada level memuaskan. Setidaknya dengan itu anak anak kita telah menahapi tangga untuk mencapai level tujuan berilmu yang sebenarnya yaitu amal. Disinilah kita mengenal konsep berkah. Karena bukan perkara sejauh mana level kemampuan nalar anak kita dalam menguasai ilmu akan tetapi sejauh mana kelak ilmu itu akan bermanfaat. Burhanul Islam Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’alim menyampaikan bahwa salah satu hal yang membawa kita pada keberkahan ilmu adalah memuliakan ilmu dan ahli ilmu. Bab ini yang tentunya kita perlu cermati selain capaian belajar anak-anak kita.
***
Assalamualaikum Ustdzah
Ustdzah, tadi Putri pulang sekolah… laporan kalau Putri ujian tilawahnya remedial ya ustdzah?
Saya belum dapat cerita utuhnya , karena Putri udah nangis duluan.
InsyaAllah.. disiapkan lagi untuk Putri perbaiki ya ustdzah
Begitulah kira-kira isi pesan yang masuk sekitar pukul 15.00, tentu setelah Ananda sampai di rumah. Setelah membaca, segera saya balas pesan dari bunda Putri, menceritakan apa yang terjadi di kelas. Karena sepertinya Putri menangis bukan karena mengulang ujian tilawah, tapi karena sebab lain.
Sebelumnya di pagi hari, saat sedang fokus menyimak Ujian tasmi’ Urjuzah Mi’iyah bait 1-50 seorang santri, tiba-tiba kelas dikagetkan dengan adanya karet gelang yang melesat dan mengenai pipi kiri saya. Seketika semuanya hening. Terlebih santri yang memainkan karet tersebut dan tentu juga santri yang sedang membacakan bait-bait kisah Nabi.
“Kenapa bermain karet ketika halqoh, Putri ?”
Pertanyaan saya hanya dijawab mulut membisu dan muka yang memerah. Seperti menahan takut dan merasakan penyesalan yang besar. Kemudian saya kembali fokus kepada santri yang sedang ujian, tanpa menunggu Putri menjawab pertanyaan. Ya, hanya sebatas itu teguran saya untuk dia saat itu, karena khawatir mengganggu konsentrasi temannya yang sedang tasmi’.
Karena sampai waktu kepulangan Putri belum saya panggil dan Dia juga belum minta maaf, maka saya menduga menangisnya ia di rumah bukan hanya bersebab ujian tilawah.
“Uma ini Uma ada telfon Uma.” Anak saya berlari membawakan handphone yang tengah berdering.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam. Ustadzah maafin Putri ya ustdzah.”
“Oh Iya. Kenapa Putri?”
“Maafin Putri ya ustdzah, tadi Putri di kelas ketika halqoh mainan karet. Sampai-sampai karetnya kena pipi ustdzah.”
“Oiya.. Gapapa Putri. Sudah ustadzah maafkan. Lain kali jangan diulangi ya. Putri kan sudah belajar adab ketika belajar.”
“Iya ustadzah maafin Putri ya ustadzah. Putri takut ilmu yang ustadzah ajarkan jadi tidak berkah.”
Seketika saya tertegun.
“Iya Putri gapapa. Insyallah engga kok, ilmunya insyaallah berkah kan tadi engga sengaja ya.”
“Iya ustdzah, maafin Putri ya ustdzah. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. “
Tertutuplah percakapan kami.
“Uma kenapa suaranya kok gitu Uma ?.” si sulung bertanya karena menyimak obrolan kami.
“Iya nak, kakak Putrinya menangis tadi pas telfon.”_
Dan Aku pun tak dapat membendung air mata.
Masya Allah shalihah..
Di usiamu yang belum juga baligh. Telah lembut hatimu mengkhawatirkan tak bermanfaatnya ilmu. Meski jiwa kanak-kanakmu yang masih kental dengan keinginan bermain. Namun dapat terajut dalam kebeningan hati yang risau akan ketidakberkahan ilmu, bersebab kesalahanmu sendiri. Sepertinya kami yang dewasa perlu belajar darimu nak, bagaimana caranya risau akan ketidakberkahan. Barulah aku tahu kemudian dari bundanya Putri bahwa telfon itu adalah inisiatifnya Putri sendiri. Tanpa diminta oleh sang bunda. Dan alasan ingin menelfon yang disampaikan ke bunda pun sama seperti yg disampaikan Putri kepadaku.
“Bunda izin telfon ustdzah. Putri mau minta maaf. Putri takut ilmu Putri ga berkah.”
Begitulah rasa gelisah generasi yang terjaga fitrahnya, gelisah akan ketidakberkahan ilmunya. Kalau kegelisahan kita apa?