Terlambat merupakan kondisi yang sangat tidak menyenangkan bagi sebagian orang, baik itu pada orang dewasa maupun anak-anak. Dalam kondisi terlambat, beragam emosi bisa muncul, mulai dari kecewa pada diri sendiri, kecewa pada orang lain, atau kecewa pada kondisi marah akan penyebab keterlambatan. Lalu apakah yang harus kita lakukan jika terlambat itu tidak terelakkan lagi? Bagaimana langkah kita sebagai seorang guru jika ada siswa yang terlambat? Atau bagaimana sikap kita terhadap rekan kerja yang berulang-ulang terlambat terhadap amanah dan janjinya?
Ini pertanyaan yang sulit dijawab bagi orang yang tidak mengetahui kondisi rillnya. Semakin sulit dijawab kalau keterlambatan itu seperti jenis kebiasaan seseorang. Terkadang, alarm pengingat waktu yang disalahkan karena terlambat. Kendaraan yang ditumpangi ikut disalahkan karena terlambat. Komputer, buku-buku, dan cuaca juga ikut kena salah karena terlambat. Berbagai macam cara untuk menyampaikan sebuah alasan karena terlambat.
Lebih unik lagi, kok yang disalahkan sama ya? Kok berulang ya? Memangnya tidak ada evaluasi dari keterlambatan sebelum-sebelumnya? Untuk orang beriman, tentu akan dengan mudah mengatakan, “Alhamdulillah ada Allah Subhanahu wa ta’ala, mungkin yang terlambat selalu punya cara dan dapat memberikan alasannya dengan baik.” Namun, untuk urusan hati dan niat seseorang yang terlambat, ada Allah Subhanahu wa ta’ala yang tidak akan meleset penilaiannya.
Renungkanlah kisah berikut ini:
Ahmad bin Abu al-Hawari berkata, “Ketika aku menemui Abu Sulaiman ad-Darani, ia sedang menangis.”
Kemudian aku bertanya, “Saudaraku, apa yang membuatmu menangis?”
Dia menjawab, “Wahai Ahmad, ahlul mahabbah (orang-orang yang saling mencintai) itu, jika hari menjelang malam, ia mulai membentangkan telapak kaki mereka (berdiri mengerjakan shalat), air mata mereka membasahi pipi pada saat ruku’ dan sujud.
Ketika itu Allah Subhanahu wa ta’ala menyaksikan mereka dan memanggil, ‘Wahai Jibril, berdasarkan penglihatanku, siapakah yang sedang membaca firman-firman-Ku dengan penuh kenikmatan itu dan kemudian istirahat untuk bermunajat kepadaKu?
Sesungguhnya Aku mengawasi mereka, mendengar perkataan, keluhan, kerinduan dan tangis mereka! Panggillah dan tanyakan kepada mereka, ‘Mengapa mereka berputus asa sebagaimana yang Aku lihat, apakah telah datang seseorang kepada kalian yang menyampaikan berita bahwa seorang kekasih akan menyiksa kekasihnya dalam bara api?
Jika perbuatan kejam seperti itu, tidak pantas dilakukan oleh seorang manusia yang hina terhadap kekasihnya, maka apakah layak sekiranya dilakukan oleh Allah Yang Maha Memiliki segala sesuatu dan Mahamulia?!
Maka demi kemuliaan-Ku, Aku bersumpah, sungguh Aku akan memberi hadiah kepada mereka, ketika menemui-Ku pada hari Kiamat kelak yakni akan Aku singkapkan Wajah-Ku yang mulia di hadapan mereka, aku melihat mereka, demikian pula mereka dapat memandang-Ku langsung.’
Wahai Ahmad, jika kejadiannya seperti itu, apakah engkau masih akan mencelaku ketika aku menangisi keterlambatanku dari rombongan ahlul mahabbah tersebut?”
Subhanallah…
Inilah iman…
Orang yang menangis karena merasa terlambat membersamai rombongan ahlul mahabbah.
Inilah buah iman…
Amanah, janji, perintah dan semua kehidupan yang membutuhkan konsistensi namun hasilnya terlambat, lalu merasa bersalah…
Inilah karya iman…
Pembiasaan untuk tidak terlambat membersamai rombongan ahlul mahabbah agar tidak mudah juga terlambat terhadap urusan sesama manusia.
Mungkinkah kebiasaan terlambat itu karena kita enggan mengejar keterlambatan membersamai rombongan ahlul mahabbah? Astaghfirullah…
Wallahu a’lam.
#duakurikulum_iman&alquran
Sumber Buku:
– 99 Kisah Orang Shaleh karya Syeikh Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahab.
Info penting: Ingin mendengarkan Audio kisah Menangisi keterlambatan Abu Sulaiman ad-Darani? Nantikan bertutur kisahnya bersama Waalid Ilham di www.lenterasirohanak.com.