Waktu : Penuh makna ataukah?
Hari-hari yang terlewati terasa begitu cepatnya berlalu. Fajar yang bercahaya dan malam yang begitu gelap terus bergantian menunaikan amanahnya dari Sang Mudabbir (pengatur segala urusan) hingga saat ini kita berada di masa liburan setelah melewati duka tawa membersamai generasi. Di kala mengawali perjuangan tahun ini, ingatkah bahwa pernah terlintas semester ini sepertinya akan terasa begitu panjang? Dan kinipun telah di pertengahan tahun ajaran tersempat bergumam ternyata waktu berlalu begitu cepat. Rutinitas-rutinitas manusia yang berujung kelelahan itupun terus dijalani dengan berbagai rasa yang telah menghinggapi hati. Ada kebahagiaan yang diharapkan selalu hadir dan tidak hilang. Ada kesedihan yang diharapkan segera berganti dengan kebahagiaan kembali. Begitulah waktu berjalan, tidak terasa telah berlalu begitu saja. Yang dikhawatirkan adalah berlalu tanpa makna. Maka layak bagi jiwa-jiwa imani itu membenarkan Kalam Rabb mereka yang acap kali bersumpah dengan waktu. Bisa dikatakan sebuah kode keras –istilah tren sekarang- bahwa dia adalah sesuatu yang sangat berharga tapi sering -atau minimalnya terkadang- manusia tidak menyadari keberhargaannya. Washshubhi… Wadhdhuha… Wannahaari… Wal’ashri… Wallaili… Bukankah ini menjadi sebuah renungan antara kita dengannya (sang waktu)? Bagaimana kita memaknai waktu? Kemana waktu itu telah dihabiskan?
Dialah sang teladan terbaik, penghulu para nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tercatat dalam sirah telah bertungkus lumus di masa kenabian hingga wafatnya untuk perjuangan agama Allah tanpa kenal lelah dan menyerah…
Dialah Khaliifaturrasuul, Abu Bakr ash-Shiddiq, sahabat terbaik sang Nabi yang selalu mengambil bagian terdepan dalam amal kebaikan…
Dialah Amiirul Mukminiin Umar ibnul Khaththab pada keheningan malam memilih mengelilingi rumah-rumah rakyatnya untuk mengetahui sekaligus membantu kesusahan mereka di saat semua orang terlelap dalam nyenyak tidurnya…
Dialah Khaliifah Rasyiidah ke-5, Umar bin Abdul Aziz, pemimpin kaum muslimin yang faqih, telah menghabiskan masa kepemimpinannya untuk mensejahterakan rakyatnya sampai-sampai saat wafatnya tidak meninggalkan secuilpun harta untuk anak-anaknya…
Dialah Naashirussunnah (pembela hadis nabi) Imam asy-Syafi’i, menghabiskan usianya sejak masa kecil hingga wafatnya berkhidmat pada ilmu, maka layaklah ia menjadi ulama besar kaum muslimin, mujtahid agung yang keilmuannya yang tidak akan pernah bisa dikejar oleh siapapun setelahnya sampai hari ini…
Dialah guru Imamul Muhadditsiin Imam al-Bukhari, Muhammad bin Salam al-Bikandi, yang ketika penanya patah spontan mengumumkan kepada teman-teman di majelisnya, “Siapa yang mau menjual penanya 1 dinar?” Baginya apalah arti 1 dinar dibanding waktu yang terhabiskan tanpa bisa menulis ilmu…
Dialah seorang ulama ahli nahwu, Abu Bakr Muhammad ibnu al-Khayyath an-Nahwi, dalam perjalanan sekalipun masih saja membaca kitab sampai terjatuh dalam selokan atau tertabrak binatang…
Dialah kakek dari Syaikhul Islam, dengan nama yang sama, Ibnu Taimiyah, meminta temannya membacakan ilmu dengan suara yang lantang agar dia bisa mendengarkan ketika berada di kamar mandi demi tidak berlalu sedetikpun waktu tanpa ilmu…
Dialah panglima hebat Islam, kebanggan suku Kurdi, Shalahuddin al-Ayyubi yang masa hidupnya dikerahkan untuk menjadi penerus kegelisahan tentang pembebasan tanah suci kaum muslimin el-Quds sehingga di bawah kepanglimaannya berhasil dibebaskan…
Dialah sang pembuka wilayah yang dijanjikan sang Nabi, yang dinantikan kaum muslimin 800 tahun lamanya, Muhammad al-Fatih di masa mudanya dihabiskan menyiapkan dirinya (kekuatan hati, ilmu, dan fisik) untuk membuka benteng Konstatinopel yang berlapis-lapis kekuatannya itu…
Dialah ulama negeri kita, kebanggaan nusantara, Buya Hamka, yang menghabiskan waktunya di dalam penjara dengan menuliskan ilmu sehingga melahirkan karya besar penuh hikmah Tafsir al-Azhar…
Begitulah sebagian kecil potret para pendahulu kita yang telah berhasil melukis indah tentang waktunya dengan karya dan kebesaran. Maka pertanyaannya, bagaimana dengan kita? Melukis waktu penuh makna ataukah berakhir penyesalan yang takkan pernah ada gantinya?