Lidah kita mungkin mudah berbicara soal iman namun lubuk hati kita menginginkan cinta. Hakikatnya kita berdusta pada diri kita sendiri bahkan terkadang terjepit antara keperluan dan kehendak diri. Kita keliru. Pada akhirnya kita dihantui kebuntuan.
CINTA, benarkah pilihan ini?
Suasana sunyi saat berjibaku dengan pekerjaan…terbesit kehadiran cinta yang mengobati kesunyian. Benarkah?
Ataukah ia hanya gangguan yang menyelinap dalam relung-relung kelelahan? Kadangkala ada, kadangkala tiada, kadangkala mempesona, kadangkala fatamorgana.
Benarkah cinta itu menghadirkan kebahagiaan? Merubah hidup bermakna tanpa sia-sia?
IMAN, sesuatu yang tidak dapat diwarisi.
Iman bukan pula sesuatu yang bisa diperdagangkan. Ia adalah karunia dari Ilahi untuk hamba-Nya yang dicintai. Namun, iman yang sedang kita nikmati, juga dapat berlalu pergi dan mungkin tidak kembali. Tapi mungkin ia kembali dengan sekumpulan iman yang memantapkan jiwa yang hakiki.
Apakah dengan memilih iman, kita tidak boleh meraih cinta?
Apakah sekiranya kita memilih iman, hidup kita diselimuti sengsara?
Lalu apa makna iman itu buat kita?
Seperti itulah pilihan. Dalam pilihan terselip ujian-ujian. Dalam pilihan dipaksa memilih. Di dalam pilihan terkesan tak bisa mendapatkan semua pilihan.
Tapi tidak untuk kisah berikut ini:
Al-Mubarrid menyebutkan dari Abu Kamil dari Ishaq bin Ibrahim dari Raja’ bin Amru an-Nakh’iy berkata: “Terdapat seorang pemuda yang sangat tampan rupawan di negeri Kufah, terkenal dengan ketaatannya dalam ibadah. Suatu ketika dia singgah di salah satu tempat yang bernama Nakh’iy. Maka tanpa disengaja dia melihat seorang dara dari anak dusun tersebut yang cantik jelita membuat dirinya kehilangan akal dan terpesona padanya. Bagai gayung bersambut, sang dara pun memiliki perasaan yang sama. Singkat cerita sang pemuda mengirim utusan kepada orang tua gadis itu untuk melamarnya, namun sayang seribu sayang, sang gadis telah dipertunangkan dengan salah seorang anak pamannya. Tatkala cinta telah bersemi di hati kedua anak manusia tersebut dan kasmaran melanda keduanya maka sang gadis melayangkan sepucuk surat pada sang pemuda yang berisikan: “Engkau telah mengetahui betapa cintaku padamu demikian juga halnya yang terjadi padamu. Maka jikalah engkau sudi, aku tidak keberatan akan datang mengunjungimu atau aku akan carikan jalan agar engkau dapat masuk ke rumahku” Sang pemuda menjawab, “Tidak….tidak satupun dari dua pilihan tersebut berkenan di hatiku. Aku khawatir bermaksiat menentang Tuhanku pada hari yang sangat dahsyat azabnya.
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Katakanlah, “Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku” (Al-An’am: 15). “Aku begitu takut api neraka yang tidak pernah padam membakarku.”
Tatkala sang utusan gadis tersebut menyampaikan apa yang dia dengar dari sang pemuda, dia berkata, “Apakah begitu besarnya rasa takutnya kepada Allah? Demi Allah, selayaknya begitulah perasaan setiap hamba kepada Tuhannya”. Sejak saat itu sang gadis berubah total dengan ibadah dan zuhudnya meninggalkan gemerlap dunia seisinya, menyibukkan diri dengan ibadah walaupun ingatannya kepada pemuda tersebut tidak pernah pupus, terus bergejolak membakar cintanya hingga membuatnya menjadi kurus kering hingga kematian datang menjemputnya.
Adapun sang pemuda, terkadang datang menziarahi kuburnya, mendoakannya sambil menangis. Suatu saat sang pemuda tertidur di sisi kuburnya dan bermimpi berjumpa dengan gadis impiannya tersebut dalam keadaan yang sangat memesona.
Sang pemuda bertanya padanya, “Bagaimanakah keadaanmu sekarang setelah engkau pergi meninggalkanku?”
Sang gadis menjawab, ”Sungguh, benar-benar dalam keadaan yang terbaik, alangkah indahnya cinta yang kau berikan padaku, cinta yang menggiringku pada setiap kebaikan dan ketaatan.”
Sang pemuda kembali bertanya, “Dimanakah kini kamu berada?”
Sang gadis menjawab, ”Dalam surga yang penuh kenikmatan dan tiada berkesudahan.”
Sang pemuda berkata, “Ingatlah daku selalu di tempatmu sana sebab aku tidak pernah sekalipun melupakanmu.”
Berkata sang gadis, ”Demikian pula dengan diriku, demi Allah tidak pernah sekalipun melupakanmu, bahkan aku telah bermohon kepada Allah Sang Majikanku agar dapat mengumpulkan kita di tempat ini, maka bantulah aku dengan bersungguh-sungguh dalam ibadahmu.”
Berkata sang pemuda, “Kapankah aku dapat bersua denganmu?
Sang gadis menjawab, “Sebentar lagi engkau akan segera datang menemui kami di sini.”
Singkat cerita setelah tujuh hari pemuda itupun wafat—semoga Allah merahmatinya. Inilah antara iman dan cinta. Keduanya berawal dari hal yang mesti dipilih namun pada akhirnya keduanya bisa dimiliki.
Wallahu’alam.
#duakurikulum_iman&alquran
Info penting : Ingin mendengarkan Audio kisah antara iman dan cinta pemuda kufah Nantikan bertutur kisahnya bersama waalid ilham di www.lenterasirohanak.com
Sumber : Kisah-kisah nyata tentang Nabi, Rasul, Sahabat, tabi’in orang-orang dulu dan sekarang, Syaikh Ibrahim bin Abdullah al-Hazimi.