Berangkatlah Nak, Berjuanglah!
Pancaran matahari bebas menembus kepadatan pemukiman di salah satu sudut kota Jember pagi itu. Kurang lebih empat kilometer dari pusat kota di sebuah tempat yang tampak hijau dengan tata letak dan dekorasi yang dibuat asri menampilkan deretan pepohonan kelapa menghiasi. Di tempat itulah kami melepas para santri yang akan melanjutkan perjalanan ilmunya ke Madrasah Al-Fatih Situ Daun.
Suasana cerah berbalut pemandangan indah, di tempat penuh barokah seakan turut bersuka cita menyambut para santri yang akan meneruskan perjuangan mereka ke Madrasah. Para santri ditemani Ayah Bunda berkumpul bersama para Asatidz mendengarkan nasehat dari Ustadz PJ Syar’i Kaf Jember, sebagai bekal perjalanan menuntut ilmu di medan juang berikutnya. Agar Ayah Bunda pun semakin tegar penuh ridho dan do’a mengiring putra-putri tercinta.
Usai mendengarkan nasehat penuh haru nan khidmat, dilanjutkan penyerahan kenang-kenangan untuk para santri, mereka mulai berpamitan dan meminta do’a kepada seluruh asatidzah.
“Ustadzah, mohon do’akan ana dimudahkan menuntut ilmu disana ya Ustadzah,” pinta ananda sembari menatap lekat pandangan saya.
“Do’akan ana agar terus bersemangat meski berpisah jauh dari Abi Umi, Ustadz-Ustadzah, adik-adik dan teman-teman ya Ustadzah,” tambah ananda pula, sembari menahan air mata.
Ananda adalah satu-satunya santri akhwat yang akan berangkat ke Madrasah bersama empat santri ikhwan lainnya. Selama mengenal Ananda, saya melihat sosok Ananda sebagai sosok santri akhwat yang dewasa, tegar, serta memiliki adab yang menjadi teladan kebaikan bagi teman-teman dan adik-adik kelasnya. Di tengah-tengah santri Kuttab Al Fatih Jember, Ananda selalu bersabar membimbing adik-adik kelas penuh kehangatan. Maka tak heran, jika adik-adik kelasnya merasa kehilangan saat Ananda lulus dari Kuttab.
Pun dengan dua teman akhwat Ananda yang kini masih melanjutkan belajar di Kuttab karena usianya masih belum mencukupi untuk melanjutkan ke Madrasah. Nampak sekali kesedihan pada raut wajah mereka, karena berkurang satu teman belajar di majelis ilmu tercinta.
“Tenang ukh, Ana gak akan lupain kalian kok. Meskipun kita jauh, kan kita tetap bisa saling mendo’akan. Jangan lupa do’akan Ana ya, Ana juga akan selalu mendo’akan kalian. Semangat belajar tadabburnya ya, semangat hafalannya, tahun depan Ana tunggu di Madrasah.” pesan Ananda menyemangati kedua temannya.
“Betul nak, meskipun saat ini raga kalian akan terpisah jauh, tapi dengan saling mendo’akan, Allah akan makin mendekatkan hati kalian. Semoga Allah meridhoi persaudaraan kalian, menjadi persaudaraan yang makin menguatkan di jalan kebaikan. InsyaaAllah kalian akan berkumpul kembali, baik di dunia hingga ke surga nantinya.”
Mereka pun saling tersenyum dan berpelukan. Hingga sejurus kemudian air mata mereka mengalir tak tertahan. Setelah menanti beberapa saat hingga mereka lega, saya arahkan pandang pada 2 santri akhwat yang masih berjuang di Kuttab,
“Maksimalkan perjuangan kalian, Nak. Kalian belajar, menuntut ilmu karena Allah. Untuk menjadi mujahidah tangguh. Persaudaraan, pertemuan dan perpisahan yang dilandasai karena Allah, insyaaAllah akan menjadikan kalian termasuk golongan yang akan dinaungi oleh Allah di hari akhir. Berjuanglah, kalian hanya berpisah sebentar di dunia, untuk nantinya kembali bersama di dalam surga.”
Dan teruntuk Ananda yang akan berangkat,
“Nak, yakinlah akan ada kenikmatan selepas perjuangan panjang. Yakinlah akan ada kebahagian, selepas kesabaran antum menuntut ilmu dalam ketaatan.”
“Antum tempuh jarak jauh, sebagaimana para Ulama terdahulu, hanya berharap keberkahan Allah dilimpahkan atas setiap ilmu. Berangkatlah nak, Teruslah melangkah. Sebagaimana nasehat Imam Asy Syafi’i, air yang mengalir akan menjadi jernih, jika diam justru keruh menggenang.”
“Singa, jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa. Anak panah, jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran. Biji emas bagaikan tanah sebelum digali dari tambang. Kayu, tak ubahnya kayu biasa jika di dalam hutan.”
“Berangkatlah nak, berjuanglah.. Teladanilah semangat para penuntut ilmu terdahulu, mereka tinggalkan zona nyaman, menuntut ilmu sebagai bekal menapak kehidupan.”
“Berlelah-lelahlah.. Nak, Manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang. Berlelah-lelahlah.. Nak, Lelahmu dalam menuntut ilmu akan menjadi lelah yang memuliakanmu.”
“Dan justru inilah kado terindah untuk Ayah Bundamu, Ustadz-Ustadzahmu dan seluruh muslim saudaramu. Meski raga terpisah jauh, ingatlah ini hanya sementara di dunia, sedangkan perjuanganmu menuntut ilmu adalah demi kebersamaan kekal bersama orang-orang yang engkau cinta dalam kekalnya surga.”
“Do’a serta ridho kami menyertaimu, Nak.. Semoga engkau menjadi ahli ilmu, pejuang agama-Nya, Demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin, bercahaya menerangi semesta.”
“Lihatlah Ayah Bunda, mengiringmu penuh ketegaran. Di balik air mata yang tersimpan, mereka langitkan do’a penuh harapan. Menitipkanmu pada Sang Sebaik penjaga.”
“Ingatlah Nak, padamu tertumpu sebuah cita. Engkaulah.. para pejuang agama-Nya, jembatan Ayah Bunda serta Ustadz-ustadzah menggapai surga.”“Barakallah fiikum Nak.. Semangat berjuang, Menuntut ilmu di Madrasah Al Fatih. Madrasah peradaban.”