Majelis ‘Abasa
Rabu itu sebagaimana Rabu sebelumnya, kembali di gedung C Kuttab Al-Fatih Bandung yang berlokasi di Cikadut berkumpul para santri untuk bersama-sama mentadaburi Al-Quran dengan dipandu oleh ustadzah. Adapun yang membedakan hari itu adalah “rasa”. Rasa yang Allah hadirkan hari itu, begitu membekas. Bahkan mungkin langit yang menyaksikan suasananya ikut mengharu biru hingga menghujani bumi dengan deras, sederas jatuhnya air mata keimanan para santri saat itu. Siapapun yang mendengar tangis mereka niscaya akan ikut terbawa suasana.
Siang itu, usai ustadzah membuka majelis dengan muqoddimah. Menerangkan bahwa agenda hari ini adalah review. Lalu meminta santri untuk bersama-sama membaca ayat-ayat dalam surah Abasa sambil menghadirkan rasa. Sederhana yang disampaikannya,
“Nak, hadirkan rasa saat antunna membaca ayat-ayat Abasa. Jika antunna selesai membaca 1 ayat, maka berhentilah sejenak untuk mentadaburinya, meyakini kabar-kabar yang Allah sampaikan dalam surah ini dan, mulai mentafakuri nasib kita setelah kehidupan ini.”
Bacaan pun dimulai dengan berta’awudz bersama-sama sampai pada ayat
فَاِذَا جَاۤءَتِ الصَّاۤخَّةُ
bacaan pun dihentikan. Para santri mulai mentadaburi tentang tiupan sangkakala kedua yang begitu memekakan telinga. Mereka mulai tertunduk, ada tangan yang mulai menutupi wajah. Bacaan pun dilanjutkan, kemudian kembali dihentikan guna mentadabburi. Kali ini wajah-wajah suci itu mulai memerah, dari mata-mata bening itu mengalirlah butir-butir air mata. Semakin melanjutkan ayat, tangisan itu semakin kencang. Suara tangisnya begitu menyayat hati. Begitu menggetarkan.
Usai sedikit tenang ustadzah meminta santri untuk menjawab pertanyaannya “kenapa antunna tadi menangis?”
Seorang santri pun menjawab “Takut, Ustadzah” Lantas terdiam, badannya gemetaran. Berusaha melanjutkan kalimatnya
“taakuut…amal-amal di duniaaaa…. justru banyak buruknya..”
Jawabnya sambil terisak.
“Takut nanti tidak bisa lagi berkumpul dengan keluarga.”
Jawab santri yang lainnya sambil terisak-isak. setelah mentadaburi kondisi hari kebangkitan yang mana anak dan orangtuanya saling berlari kabur menjauh satu sama lain. Kembali terisak, dan tampak air matanya kembali mengalir. Sampai sangat jelas ada kesedihan yang begitu membuncah, memenuhi relung hati para santri siang itu.
Waktupun bergulir, hingga tak terasa tiba diakhir waktu majelis. Ustadzah menutup majelisnya dengan nasehat,
“Nak, bawalah rasa siang hari ini, kemaslah dengan rapih di dalam hati, ulangilah ia kembali suatu saat nanti. Hingga apabila ada pada suatu masa setan menggoda, maka ingatlah bahwa kita pernah berkumpul, menangis bersama, karena rasa takut kita.” Ya, inilah majelis Abasa.
Semoga Allah membangkitkan kita dengan wajah yang berseri-seri kelak, mengumpulkan kita kembali, dan kita akan saling berkisah tentang hari ini “inna kunnaa fi ahlina musyfiqiin..”